Senin, 06 Desember 2010

GERBONG SI TOLE





“Le…!! cepat mandi atau kau akan ketinggalan kereta-kereta itu!” teriak seorang ibu. Hari masih cukup gelap.

Bocah yang dipanggil Le, muncul dengan cengengesan setelah menepuk bahu ibunya hinga terkaget-kaget. Kulit Tole yang hitam mengkilap dan ditumbuhi jerawat di wajah membuatnya tidak kentara apakah dia sudah mandi atau belum. Semuanya tampak sama.

“Belum mandi juga, kamu Le…!! Bentak Emak keras.

“Ya sudahlah, mak…! Kan sudah mirip kaya Andika Pratama.” canda bocah umur dua belas tahun itu. “Mana nasi bungkus dan tahu petisnya?”

“Itu sudah mak siapkan, tinggal bawa.” Emak menunjuk meja dapur.


Selasa ini Tole sengaja bolos sekolah untuk menggantikan Emak yang terkilir kemarin.

“Kaki Emak kok bengkak seperti kaki gajah.” ujar Tole. Sedikit cemberut emak mengangsurkan dagangan yang akan di bawa Tole.


“Dengan riangnya Tole mengangkat dua baskom masakan Emak. Mulailah terbayang pundi-pundi uang yang akan didapatnya untuk membawa Emak ke dukun pijat di kampung sebelah.

“Doakan Tole ya, Mak. Kalau duitnya dapat banyak, mbah dukun pasti bisa ngempesi kaki Emak.

“Husttt….memang kaki emak ban sepeda, pake di kempesi?” sudah berangkat sana!!


Sambil bernyanyi kecil dia melenggang penuh semangat. Di taruhnya salah satu baskom di atas kepala dan didekapnya baskom yang lain. Perlahan namun pasti menyusuri setapak yang menghubungkan stasiun dan rumahnya. Di tengah jalan Yu Jami tetangga sebelah rumahnya melintas.

“Emakmu gak jualan, Le?” sapa Yu Jami

“Tidak Yu, Emak cuti dulu sementara.” Jawab Tole ngasal.

“Orang kaya kita kalau gak kerja ya gak bisa makan, Le. Kok pake cuti segala”

“Iya, kan Tole yang gantiin jam kerjanya Emak, hehehe….”

“Kamu ini ada-ada saja, Le.”


Tole sampai di stasiun kereta dalam sepuluh menit. Segera setelah petugas PPKA meniup peluit keberangkatan, mulailah dia beraksi menawarkan dagangannya ke penumpang disetiap gerbong. Di salah satu ruang rangkaian antar gerbong, tiba-tiba seorang laki-laki berperawakan tinggi besar menabraknya sangat keras. Dua baskom yang dibawanya jatuh berhamburan. Tahu petis yang memang tidak dibungkus bertebaran di lantai, sedangkan sebagian besar nasi bungkusnya koyak dan isinya jumpalitan kemana-mana. Mata Tole membelalak tajam kearah lelaki yang menabraknya. Seakan tak mau kalah lelaki ini malah menghujaninya dengan makian dan umpatan yang sama sekali tidak manusiawi. Setelah puas, lelaki itu meninggalkan Tole yang berurai air mata. Sambil terisak, Tole memunguti semua dagangannya.


“Ya Allah, bagaimana aku bisa mengobati Emak kalau daganganku berantakan seperti ini. Tuhan tidak sayang padaku. Tuhan lebih sayang sama orang gede itu. Tuhan malah membiarkan dia menabrak dan memaki-maki aku. Padahal itu bukan salahku. Emak selalu mengajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua. Tapi apakah ini balasannya? Tuhan tidak adil. Ratap Tole dalam hati.


Kereta berhenti di stasiun selanjutnya. Dalam kegalauannya, Tole melompat tepat di atas peron tanpa perduli nasib dua baskom yang dibawanya. Meliuk-liuk diantara kerumunan orang mencari tempat aman untuk beristirahat. Matanya nanar tertuju pada gerbong barang tak terurus. Bau kotoran bercampur dari dalam gerbong membuatnya mual. Namun rasa sesak yang sejak lama dia tahan seakan mengalahkan segalanya. Tangis pun membruncah pecah. “Bagaimana mengatakannya pada Emak?” atau “Tidak usah pulang saja?” kata-kata itu terus-menerus bermain di benaknya.


Segera senjapun berganti malam. Tole yang kelelahan menangis, jatuh tertidur. Kereta-kereta yang menuju rumah Tole telah berlalu. Meninggalkan Tole dengan mimpi yang terendap.

Minggu, 05 Desember 2010

SEBUAH JANJI


“Aaaaarrrrrrrrggggghhhh!!!!!!!!” teriakan panjang dan mengerikan itu akhirnya mengakhiri semuanya. Hening. Bayangan pergumulan dua orang tadipun tak lagi tampak. Hanya debaran jantungnya yang terasa cepat. “ Aku harus pergi dari sini, sebelum dia menemukanku. “ pikirnya. Perlahan dibukanya kain penyekat ruangan tempatnya bersembunyi. Menjaga langkah agar tak bersuara.


“Mirna….!!” suara berat itu memanggilnya lagi. Lembut belaian di pipinya membuatnya terpejam. Tangan tak nampak itu merambat turun membelai tengkuk dan memeluknya. “Aku memenuhi janjiku, untuk menjemputmu.” Tak akan ada yang berhak menahanmu disini. Karena kita akan bersama, selamanya.”


Dia membimbing Mirna menuju sebuah cahaya. Berjalan menyusuri sebuah lorong yang menyilaukan. Mirna menurut saat suara itu menyuruhnya memejamkan kedua matanya.
Terdengar bunyi sirene polisi meraung-raung. Ditemukan tiga mayat dengan perut terburai. Sepasang suami istri dan seorang anak adopsinya.

Jumat, 03 September 2010

RINAI LARA INGA


Muram masih menyelimuti relung hati kami, setelah tiga hari kepergian Inga Titi. Kematian yang sungguh mendadak dan mengejutkan. Infeksi toksoplasma telah merenggut ketahanan fisik dan rohaninya. Hanya perlu waktu lima hari si virus menjalar dengan cepatnya, merenggut system imun tubuh dan merasuk ke setiap impuls-impuls syaraf otak. Rasa sakit yang tak terperi memporak-porandakan pertahanan tubuh yang selama ini coba dibangun olehnya dengan susah payah. Dan akhirnya Tuhan berkehendak lain, Dia memanggil Inga lebih cepat tanpa kehadiran suami dan putri tercinta.

Seakan baru kemarin kami melihat Inga Titi yang begitu bersemangat mengumumkan rencana pernikahannya dengan seorang pemuda tampan asal Surabaya yang telah menyandera hatinya sampai-sampai Inga bersedia menjalani akad nikah tanpa restu penuh dari sang mama. Inga telah menjadi yatim sejak berumur dua tahun.

Lika-liku perjalanan rumah tangga yang dijalani Inga mulai menemui batu sandungan saat sifat buruk suaminya mulai terkuak. Status pekerjaan yang diakuinya sebagai arsitek profesional ternyata hanyalah isapan jempol belaka. Dia tak ubahnya benalu yang menggerogoti perekonomian keluarga yang selama ini diambil alih oleh Inga. Kerjanya tak lain hanya mabuk-mabukan. Belum genap dua tahun, dia sudah berselingkuh dengan mantan pacarnya. Padahal Tuhan telah mengkaruniai mereka seorang bayi yang sangat manis dan menggemaskan.

Bukannya Inga tak menyadari sikap buruk suaminya, namun cinta yang begitu besar dan tanggung jawab sebagai seorang ibu sekaligus istri, membuatnya bertahan dan hanya bergantung pada kasih Tuhan semata. Tapi sepertinya itu tidaklah cukup. Keburukan suaminya semakin menjadi-jadi. Bisnis yang mereka bangun hancur berkeping-keping. Modal perusahaan amblas dibawa kabur sang suami. Mobil yang dibeli Inga dari hasil tabungan pun raib. Sang suami tak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah. Dan secara tiba-tiba menjatuhkan talak pada dirinya. Lebih parahnya lagi, putri semata wayang pun diculik paksa darinya. Hancur sudah harapan Inga tuk memiliki keluarga sakinah, cita-cita yang selama ini hanya hadir dalam mimpi-mimpi indahnya. Tinggalah Inga yang merana dengan segala kemalangannya.

Masapun berlalu dalam kesendirian. Rasa rindu yang kian menggila tuk bertemu putri cantiknya hanya jadi duka berkepanjangan. Inga sama sekali tak dapat menemukan jejaknya selama tujuh tahun terakhir. Tiap kali pencarian yang dilakukan selalu tak membuahkan hasil yang memuaskan. Mantan suaminya terlalu pintar untuk menyembunyikan keberadaan putrinya. Dalam segala kepasrahan, Inga mencoba untuk tetap menjalani hidup. Berserah pada Tuhan adalah satu-satunya cara bertahan hidup dan bersabar dalam keterbatasan.

Sedikit demi sedikit Inga mencurahkan cinta tulusnya kepada anak-anak disekitar tempatnya tinggalnya, menyekolahkan dan menyayangi mereka bisa meredam kerinduan yang tak terbendung pada putri yang tak pernah dia kenali parasnya. Diantara waktu senggang, Inga masih menyempatkan diri memasak makanan dan dibagikan kesemua orang.

Tak jarang Inga terisak diam-diam disudut ruangan, dimana terpajang foto-foto putrinya. Tak ada satupun mainan putrinya yang dia buang. Keterpurukan menjadikannya semakin tegar sekaligus rapuh. Inga tak ingin dikasihani. Begitulah perubahan diri Inga yang cukup nyata. Hingga sampai ajal menjelang hanyalah rasa sakit merindu buah hatinya saja yang sempat terungkap. Hal yang paling kami sesalkan, kami belum berhasil mempertemukan ibu dan anak yang telah tujuh tahun terpisah. Mungkin Tuhan masih belum mengijinkan, sekeras apapun kami mencari.

Satu yang pasti Inga….., kau tak pernah sendiri.



Cerita ini diikutkan dalam cerita Agustus ceria http://ceritaeka.com/2010/08/20/kuis-agustus-di-ceritaeka/

Jumat, 14 Mei 2010

Bidadari mungil


Hari pertama di awal minggu, saat semua manusia mulai terjaga dari tidur lelapnya dan mencoba mereka-reka rencana baru apa yang akan mereka gelar tuk hari ini, esok lusa bahkan minggu berikutnya, seorang bayi perempuan lahir menyemarakkan dunia dengan leher terlilit tali pusar.
Cukup menghebohkan memang...., walau tanpa bantuan paramadis sekalipun karna memang tuk ukuran orang desa, pada jaman itu paramedis belum terlalu populer. Sudah cukup hebat bisa mendapatkan bantuan dari seorang dukun bayi yang tua renta tapi cukup sigap, sabar dan telaten dalam menjalankan aksinya.
Kembali ke proses kelahiran yang cukup rumit tadi, setelah dengan tingkat tekenan yang cukup tinggi dalam melepaskan lilitan tali pusar, akhirnya sang dukun dengan girangnya memandikan dan mendandani si bayi yang berukuran mungil itu. Si bayi pun layaknya seperti bidadari yang baru melihat dunia tapi masih begitu enggan membuka mata tuk mengeksplorasi segala keajaiban yang ada di dalamnya.
"PUNIX....PUNIX....!!!??"
"PUNIX.....!!! main pisau lagi.... gak ada kapok-kapoknya ya kamu!!!??", Ujar seorang ibu.
Ya itulah nama bayi mungil yang cukup ajaib seajaib pertama kali dia muncul di dunia. Nama yang susah diingat oleh tetangga juga teman-teman sebaya. Banyak cerita menarik, lucu dan membuat geregetan bagi banyak pihak yang dengan sengaja maupun tidak terlibat dalam pengalaman yang terjadi di masa tumbuh kembang sampai menginjak dewasa. Cerita-cerita tersebut akan tersaji akurat dan relefan di entri selanjutnya. Keep Stay Tune.....

Jumat, 15 Januari 2010

Great Blessing


Pada mulanya hujan itu hanya ada didalam mimpiku
didalam tidurku, disepasang mataku yang terpejam
Kemudian hujan itu jatuh cinta kepada sepasang mataku
yang tidak tidur. Aku selalu menemukan bebulu mataku
basah bagai embun di rerumputan, di pagi dan sore hari

Kemudian hujan itu jatuh cinta kepada tubuhku
hujan senang sekali menyiram-memandikan tubuhku

Tubuhku tiba-tiba saja memiliki sebuah kamar mandi
dengan sebuah kolam yang selalu penuh dengan hujan

Kemudian hujan itu jatuh cinta juga kepada tempat tidurku
kepada kamarku, juga rumahku. Rumahku penuh hujan
Aku melihat lemari, kursi dan meja, pakaian, buku-buku
dan kenanganku berenang-renang di genangan hujan, m,

Kemudian hujan jatuh cinta kepada halaman rumahku
hujan menenggelamkan pohon-pohon dan bunga-bunga
yang pernah ditanam di taman itu. Aku melihat tangkai
dan bangkai bunga mengapung-apung didepan rumahku
Kemudian hujan itu jatuh cinta kepada jalan raya
Aku menyaksikan hujan itu brrjalan seperti kendaraan
diatasnya. Aku tak tau akan berjalan menuju ke mana

Engkau tau? Aku selalu membayangkan hujan itu singgah
di halaman rumahmu, mengetuk-ngetuk pintu rumahmu
mendesak masuk ke kamarmu, naik ke tempat tidurmu,
merasuk ke tubuhmu dan jatuh cinta kepada matamu

Aku selalu berdoa di dalam tidurmu, di dalam mimpimu
Sepasang matamu yang terpajam melihat aku dan hujan
Melihat aku bermain hujan, bermain hujan sendirian
Dan engkau ingin sekali menemani aku bermain hujan