Rabu, 27 April 2011

KACAMATA MANOHARA


Kacamata ala Manohara masih melekat erat di wajah manis Ibu Guru muda yang baru saja pindah dari kota. Senyum mengembang menambah sumringah semburat merona di wajahnya. Langkah cepat nan bersahaja menggiringnya memasuki pelataran Sekolah Dasar Siwalan II. Kering tanah yang diinjakkanya seakan menyambutnya dengan segala hal yang belum sempat terbanyangkan. Perkenalan dengan rekan-rekan guru satu sekolah lima belas menit yang lalu berjalan wajar. Sekarang tiba saatnya menyapa makhluk-makhluk penghuni kelas.

Wajah-wajah mungil dengan ekspresi datar, malu-malu menyapanya. “Kalian boleh panggil saya, Bu Hesti.” Pandangannya menebar ke seluruh ruangan. Hanya tampak enam orang anak duduk berjajar, dua baris. Kemana yang lain? Bukankah seharusnya ada dua belas murid? Heran menggelayut di hati. Dibukanya absensi kelas dan mulai memanggil nama-nama yang ada di dalamnya. Rata-rata mereka membolos sekolah lantaran membantu orang tuanya angon (mengembala) sapi atau kambing titipan Si Bos. Lainnya membantu di kebon karna saat ini musim panen jagung. Pertanyaan demi pertanyaan berlarian di benaknya. Apakah hal ini sering terjadi? Masyaallah… kasihan mereka.

Kenyataan demi kenyataan akhirnya terbuka di depan mata. Kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan anak dikalangan orang tua murid dan juga ekspektasi yang begitu rendah dari guru-guru membuat keadaan ini semakin parah. Bisa dibayangkan ketika seorang guru mengatakan, “Untuk apa kita capek-capek berinovasi dan mencari bahan-bahan ajar segala? Wong, setelah lulus dari sini paling banter juga jadi pembantu rumah tangga.”

Perkataan yang sama sekali tidak pantas ini sangat melukai rasa kemanusiaan. Jadi ini sebabnya minat sekolah menjadi sangat rendah dan mereka hanya mendengarkan pelajaran sambil lalu saja? Tidak ada kompetisi yang bisa mendorong semangat belajar mereka lebih keras lagi?

Sekolah yang terletak di tengah hutan jati gersang di kecamatan Sugihwaras ini memang sedikit terpencil. Jalan yang naik turun seperti sirkuit Moto GP ini susah dilewati sepeda ontel. Dan tidak semua warga di sini mampu memiliki motor untuk mengantar anak-anak sekolah. Satu-satunya jalan adalah berjalan kaki kurang lebih setengah jam dari rumah.

Hari-hari yang mereka jalani sangat berat. Keadaan ekonomi yang dibawah standart membuat mereka hidup seadanya. Kebon yang sering diterpa kekeringan dan jauh dari akses pasar desa memaksa mereka hanya mengkonsumsi lauk yang mereka temukan disekitar. Bahkan mereka rela memakan entung jati (Kepompong ulat jati) sebagai penambah gizi. Itu pun tidak bisa mereka temukan juga setiap harinya.

Ditambah lagi dengan kebutuhan sandang yang hanya menjadi kebutuhan nomer sekian ratus di kehidupan mereka. Seragam yang dikenakan anak-anak pun terlihat kumal dan sobek disana sini. Apalagi sepatu, tas bahkan alat tulis, sangguh memprihatinkan. Meski di daerah ini anak-anak lebih suka melepas sepatu saat akan pulang sekolah dan menjinjingnya sepanjang perjalanan, sepatu mereka mudah sekali rusak karna anak-anak tetaplah ana-anak. Yang berlarian kesana kemari dan bermain sepuas hati.

Hufhh… sebauh ironi yang perlu sebuah penyelesaian bukan hanya pengamatan yang berakhir tanpa tindakan nyata.

Bagaimanakah perjuangan Bu Guru Hesti membuat muridnya betah sekolah dengan kegokilannya?

Simak kisah lucunya di entry selanjutnya….

Cekibrottttt….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar