Rabu, 27 April 2011

KACAMATA MANOHARA BAGIAN KE-2

Jaket kulit hitam, slayer penutup hidung, kaos tangan tebal dan tak lupa Kacamata ala Manohara, selalu setia menemaninya. Hari ini dia sengaja mampir ke UPT Kecamatan untuk mengambil piala juara ketiga yang dimenangkan anak-anak didiknya pada lomba tari tingkat SD se-Kecamatan Sugihwaras. Sempat ia berpapasan dengan sesama guru perempuan sekolah lain. Diulurkannya tangan menyapa mereka. Diluar dugaan guru-guru tersebut menyalaminya dengan sikap tidak bersahabat dan membuang muka. Oh… lala. Kenapa ini?

Di dalam kantor UPT pegawai laki-laki dan beberapa rekan guru berbisik-bisik,
“Oh, ini to, Bu Guru Manohara? Mirip sih. Aku gak ngeh waktu Pak Susilo bilang pas pertemuan guru sekecamatan, kalau guru baru di SD Siwalan II, Si Manohara.” Lalu meledaklah tawa mereka.

Waduh… ternyata sama saja, bapak-bapak senang ngrumpi juga. Dianggukkannya kepala dan tersenyum sekilas, kemudian berlalu setelah piala berada di genggamannya. Julukan Guru Manohara memang sudah melekat kurang lebih sebulan setelah kepindahannya. Bahkan anak didiknya kini pun memanggilnya dengan nama yang sama. Entah karna dia sering mengenakan kacamata hitam atau apa, sama sekali tidak dihiraukannya. Tak ada gunanya. Toh, dia menggunakan kelengkapan itu tak lain menghindari debu jalanan dan polusi yang bisa merusak kesehatan, tak lebih dari itu.

Penyambutan yang luar biasa diterimanya dari seluruh isi sekolah. Baru pertama kali ini sekolah mengikuti lomba tari tingkat kecamatan dan berhasil menjadi pemenang. Dan yang paling membaggakan lagi, latihan yang dia berikan disambut antusias oleh siswa dan wali murid. Bergotong royong meminjam kostum agar bisa lebih murah dan mendandani mereka dengan peralatan make up seadanya. Keberhasilan pertama menanamkan kepercayaan diri bahwa mereka mampu berkompetisi.

Setelah sedikit berpesta, pelajaran seperti biasa pun dimulai. Kuis kecil-kecilan dilakukan secara dadakan. Di kelas dua ini sebagian besar anak masih belum bisa membaca dan menulis dengan lancar. Mereka masih mengeja dengan sangat lama. Dan tulisan mereka kacau balau.

“Ok, bagi kalian yang bisa menjawab pertanyaan Ibu dengan benar, ada hadiah yang sudah menunggu. Mau tau hadiahnya?” Bu Guru Hesti membuat penasaran.

“Iya…. Apa Bu, hadiahnya?” kata anak-anak serempak.

“Jawab dulu pertanyaan dari Ibu, nanti yang paling benar bisa langsung buka bungkusannya.”

Anak-anak berebut menjawab pertanyaan yang diajukan, tak perduli benar atau pun salah. Jika ada anak yang kebetulan jawabannya benar dan mendapat hadiah, teman yang lain pun berebut membuka bungkusan itu. “Horee… dapat pensil dua!!” teriak mereka kegirangan.

“Horee… aku dapat buku tulis yang gambarnya Irfan Bahdim!!” seru yang lain.

Memdadak kelas menjadi heboh dengan lengkingan kegembiraan. Tak ayal esok harinya mereka menagih, minta dibuatkan kuis lagi. Sambil merengek-rengek manja. Jadilah hadiah yang diberikan bisa berfariasi tergantung dengan keadaan. Bila adanya hanya jambu biji yang ada dihalaman rumah, maka itu yang akan menjadi hadiahnya. Anak-anak yang selama ini jarang masuk menjadi semangat bejajar lebih aktif lagi. Kini hampir tiap hari kelas penuh. Semua murid sadar kalau belajar itu mengasyikkan.

Dalam waktu tiga bulan peningkatan drastis dapat dirasakan semua pihak. Dari kepala sekolah sampai wali murid. Hal ini membuat guru-guru lain yang tak mau kalah dengan gebrakan Bu Guru Manohara mulai mengubah pola fikir mereka. Yang tadinya ogah-ogahan sedikit demi sedikit mau mencoba berinovasi lebih.

****

Hiruk pikuk anak-anak berlarian memperebutkan bola menghiasai sabtu pagi ini. “Bu Manohara, gak ikutan main bola sama kami?” goda Pak Reza.

Bu Hesti hanya tertawa lepas menanggapi guyonan guru olahraga muda itu. Menikmati keceriaan dari anak-anak lugu ini merupakan suatu kenikmatan yang tak akan pernah bisa dia dapatkan di tempat lain. Anugerah terindah dari Sang Kuasa.


*Base on the true story.


Anak-anak SDN Siwalan II masih sangat membutuhkan bantuan dari mereka yang perduli akan pendidikan. Bila anda bersedia melapangkan rizki untuk berbagi dengan mereka, mari bantu mereka dengan mengirimkan Pakaian layak pakai, Tas sekolah, Sepatu, dan Alat-alat sekolah. Bantuan dapat disalurkan ke Taman Pintar Rawa Balong Bojonegoro, JL. Mliwis Putih Gg. Balong No. 30 A Bojonegoro. Setiap bantuan yang disalurkan akan terus di up date di bog ini beserta daftar penyumbang dan penerima sumbangan.

MARI BERBAGI DENGAN SESAMA

KACAMATA MANOHARA


Kacamata ala Manohara masih melekat erat di wajah manis Ibu Guru muda yang baru saja pindah dari kota. Senyum mengembang menambah sumringah semburat merona di wajahnya. Langkah cepat nan bersahaja menggiringnya memasuki pelataran Sekolah Dasar Siwalan II. Kering tanah yang diinjakkanya seakan menyambutnya dengan segala hal yang belum sempat terbanyangkan. Perkenalan dengan rekan-rekan guru satu sekolah lima belas menit yang lalu berjalan wajar. Sekarang tiba saatnya menyapa makhluk-makhluk penghuni kelas.

Wajah-wajah mungil dengan ekspresi datar, malu-malu menyapanya. “Kalian boleh panggil saya, Bu Hesti.” Pandangannya menebar ke seluruh ruangan. Hanya tampak enam orang anak duduk berjajar, dua baris. Kemana yang lain? Bukankah seharusnya ada dua belas murid? Heran menggelayut di hati. Dibukanya absensi kelas dan mulai memanggil nama-nama yang ada di dalamnya. Rata-rata mereka membolos sekolah lantaran membantu orang tuanya angon (mengembala) sapi atau kambing titipan Si Bos. Lainnya membantu di kebon karna saat ini musim panen jagung. Pertanyaan demi pertanyaan berlarian di benaknya. Apakah hal ini sering terjadi? Masyaallah… kasihan mereka.

Kenyataan demi kenyataan akhirnya terbuka di depan mata. Kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan anak dikalangan orang tua murid dan juga ekspektasi yang begitu rendah dari guru-guru membuat keadaan ini semakin parah. Bisa dibayangkan ketika seorang guru mengatakan, “Untuk apa kita capek-capek berinovasi dan mencari bahan-bahan ajar segala? Wong, setelah lulus dari sini paling banter juga jadi pembantu rumah tangga.”

Perkataan yang sama sekali tidak pantas ini sangat melukai rasa kemanusiaan. Jadi ini sebabnya minat sekolah menjadi sangat rendah dan mereka hanya mendengarkan pelajaran sambil lalu saja? Tidak ada kompetisi yang bisa mendorong semangat belajar mereka lebih keras lagi?

Sekolah yang terletak di tengah hutan jati gersang di kecamatan Sugihwaras ini memang sedikit terpencil. Jalan yang naik turun seperti sirkuit Moto GP ini susah dilewati sepeda ontel. Dan tidak semua warga di sini mampu memiliki motor untuk mengantar anak-anak sekolah. Satu-satunya jalan adalah berjalan kaki kurang lebih setengah jam dari rumah.

Hari-hari yang mereka jalani sangat berat. Keadaan ekonomi yang dibawah standart membuat mereka hidup seadanya. Kebon yang sering diterpa kekeringan dan jauh dari akses pasar desa memaksa mereka hanya mengkonsumsi lauk yang mereka temukan disekitar. Bahkan mereka rela memakan entung jati (Kepompong ulat jati) sebagai penambah gizi. Itu pun tidak bisa mereka temukan juga setiap harinya.

Ditambah lagi dengan kebutuhan sandang yang hanya menjadi kebutuhan nomer sekian ratus di kehidupan mereka. Seragam yang dikenakan anak-anak pun terlihat kumal dan sobek disana sini. Apalagi sepatu, tas bahkan alat tulis, sangguh memprihatinkan. Meski di daerah ini anak-anak lebih suka melepas sepatu saat akan pulang sekolah dan menjinjingnya sepanjang perjalanan, sepatu mereka mudah sekali rusak karna anak-anak tetaplah ana-anak. Yang berlarian kesana kemari dan bermain sepuas hati.

Hufhh… sebauh ironi yang perlu sebuah penyelesaian bukan hanya pengamatan yang berakhir tanpa tindakan nyata.

Bagaimanakah perjuangan Bu Guru Hesti membuat muridnya betah sekolah dengan kegokilannya?

Simak kisah lucunya di entry selanjutnya….

Cekibrottttt….

Minggu, 24 April 2011

Sang Pendobrak Kultur


Hidup di sebuah kampung yang cukup padat dengan berbagai macam penghuni dan tingkah polahnya kadang memaksaku untuk sedikit menutup telinga. Tetangga yang masih berpola pikir kolot dan merasa benar sendiri dengan cara pandang lama sering sekali menyoroti aktifitas sehari-hariku yang mungkin saja tidak sesuai dengan pola pikir mereka.

Aku yang sering kali mengadakan pelatihan-pelatihan pendidikan di kota tempat tinggal kami sering dianggap membuang waktu dan hanya bersenang-senang dengan teman-teman satu team yang memang kebanyakan lelaki. Apalagi dengan kondisi fisikku yang memiliki kekurangan (cacat jantung) yang menurut mereka, seharusnya aku tinggal di rumah,menerima nasib dan menanti jodoh yang mungkin saja datang melamarku. Apa karna aku wanita, sehingga aku diharuskan pasrah sebagai syarat kepantasan?

Bahkan tetanggaku, seorang polisi yang kupandang memiliki wawasan yang cukup luas pernah menasihatiku untuk tidak memikirkan mencari kerja atau bersusah-susah berbuat sesuatu untuk orang lain. Toh, mengurus diri sendiri dengan cacat fisik seperti ini saja masih belum maksimal, itu menurutnya. Terus terang saat itu aku tidak terima. Aku seperti mendapat tantangan untuk membuktikan bahwa orang sepertiku bisa melakukan sesuatu yang berguna bagi orang lain tanpa dipandang sebelah mata.

Takdir bukan untuk ditunggu kedatangannya. Namun diusahakan agar saat dia datang membawa keberkahan. Tekadku sudah bulat. Dengan kesabaran dan ketulusan, kesempatan itu akhirnya datang juga. Tawaran meyelenggarakan seminar terus berdatangan. Salah satu koneksi menyarankanku mengasuh sekolah menulis cerpen bekerja sama dengan sekolah yang ia dirikan. Kesempatan ini tidak aku lepas begitu saja. Terbukalah peluang mendirikan sebuah taman pintar, yang di dalamnya terdapat sekolah bahasa inggris dengan sistem subsidi silang, artinya bagi anak dari ekonomi kurang mampu bisa mendapat ilmu dengan biaya murah bahkan gratis. Selain itu, sekolah menulis cerpen yang aku bina bersama penulis muda berbakat dari Riau, Joni Lis Efendi, mampu memberi peluang baru bagi generasi muda untuk menjadi penulis profesional nantinya. Aku pun membuka Taman Baca yang buku-bukunya sebagian aku beli dari tabunganku sendiri.

Bagiku, bukan saja ini sebagai pembuktian apa yang dikatakan mereka itu salah namun ini juga merupakan sebuah kepuasan batin, dapat berbagi dengan orang lain dan ini yang terpenting. Aku sempat merenung, menjadi pendobrak kultur masyarakat yang masih sangat tradisional membutuhkan komunikasi dan pemahaman yang baik satu sama lain. Mungkin itulah yang di lalukan Raden Ajeng kartini sewaktu beliau melakukan hal yang sama. Namun yang menjadi dasar utama adalah satu, cinta kita kepada yang memberi hidup dengan mencintai semua ciptaanNya di dunia.

Dukung cerita ini dalam Lomba Kartini Muda Indonesia
Cukup buka link : http://www.welovehonda.com/kartinimuda/entry,detail,2001 lalu click Vote di sebelah kanan atas entry. Anda ikut mendukung pendidikan gratis bagi anak-anak kurang mampu di kampung Rawa Balong Bojonegoro.

Selasa, 12 April 2011

PERJALANAN

Suatu ketika di suatu hari yang lumayan terik,

Seorang bocah dengan sendal jepit butut dan baju lusuhnya menyusuri rangkaian demi rangkaian gerbong barang kosong yang teronggok di sisi selatan stasiun kota.

Binar mata sayunya penuh warna keceriaan, mulutnya komat kamit menyenandungkan lagu yang dia karang sekenanya dan kedua kepang rambutnya ikut bergerak seiring irama tubuh. Dia melompat masuk dari satu ruang gerbong ke gerbong lainnya. Kadang dia berhenti di antara dua rangkaian. Meletakkan kedua kakinya di baja pengunci rangkaian dan menggunakannya untuk berayun-ayun.

Lebih dari satu jam dia melakukan hal itu, sendirian. Namun kenikmatan itu jelas terpancar dari wajahnya yang menghitam terpapar sengatan Sang Surya.

Bocah kecil itu tidak pernah menyadari bahwa tempat bermainnya ini akan merefleksikan kehidupannya beberapa tahun ke depan

Bahwa

Hidupnya akan berubah persis seperti permainanya itu

Berpindah dari satu gerbong ke gerbong lain. Gerbong yang terasa pengap, panas dan kosong. Gerbong yang terkadang menjadi tempat orang membuang kotoran seenak jidat mereka sendiri dan seabreg lagi kejadian aneh yang bisa saja terjadi didalam gerbong barang ini.

Namun satu yang diketahui si bocah kecil ini, bahwa keceriaanya akan tetap membuatnya bahagia.

Satu hal yang dia dapati bahwa lagu yg dia karang sendiri itu adalah doa dan penyemangat yang mengangkat dia dari kepengapan dan kekosongan hati.

Dan akhirnya dia menyadari bahwa dia akan selalu menemukan pijakan kokoh lalu berayun ke keadaan yang lebih baik dari sebelumya dan menyongsong kehidupan baru penuh harapan yang telah ditakdirkan untuknya.

Perjalanan yang tidak mudah memang, tapi bocah kecil itu telah berhasil melaluinya....

TAMAN CINTA


Terangkum semua kisah cinta beraneka warna di taman hatimu.
Jingga, merah, ungu, bahkan kelabu.
Kau biarkan semua terpendar jelas, senyata semburat pelangi senja.
Memaksa kami terlena, meski akhirnya menyerah akan rajah yang tertulis di tangan kami semua.

Kau bimbing kami menapaki paving bergerigi tanpa alas kaki.
kau bawa kami menyelam hingga dasar bumi.
Kau gembleng kami layaknya seorang sakti, yang tak mati tertembus hulu ledak bertubi-tubi.
Hingga saat kami tak sanggup lagi, dengan hangat kau rengkuh kami dalam linangan lara
beraroma surgawi.

Kala malam menjelang, alunan tembang kinanthimu menyeruak menembus gemintang.
Menyebut nama kami satu persatu dalam rangkaian mantra terentang.