Minggu, 24 April 2011

Sang Pendobrak Kultur


Hidup di sebuah kampung yang cukup padat dengan berbagai macam penghuni dan tingkah polahnya kadang memaksaku untuk sedikit menutup telinga. Tetangga yang masih berpola pikir kolot dan merasa benar sendiri dengan cara pandang lama sering sekali menyoroti aktifitas sehari-hariku yang mungkin saja tidak sesuai dengan pola pikir mereka.

Aku yang sering kali mengadakan pelatihan-pelatihan pendidikan di kota tempat tinggal kami sering dianggap membuang waktu dan hanya bersenang-senang dengan teman-teman satu team yang memang kebanyakan lelaki. Apalagi dengan kondisi fisikku yang memiliki kekurangan (cacat jantung) yang menurut mereka, seharusnya aku tinggal di rumah,menerima nasib dan menanti jodoh yang mungkin saja datang melamarku. Apa karna aku wanita, sehingga aku diharuskan pasrah sebagai syarat kepantasan?

Bahkan tetanggaku, seorang polisi yang kupandang memiliki wawasan yang cukup luas pernah menasihatiku untuk tidak memikirkan mencari kerja atau bersusah-susah berbuat sesuatu untuk orang lain. Toh, mengurus diri sendiri dengan cacat fisik seperti ini saja masih belum maksimal, itu menurutnya. Terus terang saat itu aku tidak terima. Aku seperti mendapat tantangan untuk membuktikan bahwa orang sepertiku bisa melakukan sesuatu yang berguna bagi orang lain tanpa dipandang sebelah mata.

Takdir bukan untuk ditunggu kedatangannya. Namun diusahakan agar saat dia datang membawa keberkahan. Tekadku sudah bulat. Dengan kesabaran dan ketulusan, kesempatan itu akhirnya datang juga. Tawaran meyelenggarakan seminar terus berdatangan. Salah satu koneksi menyarankanku mengasuh sekolah menulis cerpen bekerja sama dengan sekolah yang ia dirikan. Kesempatan ini tidak aku lepas begitu saja. Terbukalah peluang mendirikan sebuah taman pintar, yang di dalamnya terdapat sekolah bahasa inggris dengan sistem subsidi silang, artinya bagi anak dari ekonomi kurang mampu bisa mendapat ilmu dengan biaya murah bahkan gratis. Selain itu, sekolah menulis cerpen yang aku bina bersama penulis muda berbakat dari Riau, Joni Lis Efendi, mampu memberi peluang baru bagi generasi muda untuk menjadi penulis profesional nantinya. Aku pun membuka Taman Baca yang buku-bukunya sebagian aku beli dari tabunganku sendiri.

Bagiku, bukan saja ini sebagai pembuktian apa yang dikatakan mereka itu salah namun ini juga merupakan sebuah kepuasan batin, dapat berbagi dengan orang lain dan ini yang terpenting. Aku sempat merenung, menjadi pendobrak kultur masyarakat yang masih sangat tradisional membutuhkan komunikasi dan pemahaman yang baik satu sama lain. Mungkin itulah yang di lalukan Raden Ajeng kartini sewaktu beliau melakukan hal yang sama. Namun yang menjadi dasar utama adalah satu, cinta kita kepada yang memberi hidup dengan mencintai semua ciptaanNya di dunia.

Dukung cerita ini dalam Lomba Kartini Muda Indonesia
Cukup buka link : http://www.welovehonda.com/kartinimuda/entry,detail,2001 lalu click Vote di sebelah kanan atas entry. Anda ikut mendukung pendidikan gratis bagi anak-anak kurang mampu di kampung Rawa Balong Bojonegoro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar