Jumat, 03 September 2010

RINAI LARA INGA


Muram masih menyelimuti relung hati kami, setelah tiga hari kepergian Inga Titi. Kematian yang sungguh mendadak dan mengejutkan. Infeksi toksoplasma telah merenggut ketahanan fisik dan rohaninya. Hanya perlu waktu lima hari si virus menjalar dengan cepatnya, merenggut system imun tubuh dan merasuk ke setiap impuls-impuls syaraf otak. Rasa sakit yang tak terperi memporak-porandakan pertahanan tubuh yang selama ini coba dibangun olehnya dengan susah payah. Dan akhirnya Tuhan berkehendak lain, Dia memanggil Inga lebih cepat tanpa kehadiran suami dan putri tercinta.

Seakan baru kemarin kami melihat Inga Titi yang begitu bersemangat mengumumkan rencana pernikahannya dengan seorang pemuda tampan asal Surabaya yang telah menyandera hatinya sampai-sampai Inga bersedia menjalani akad nikah tanpa restu penuh dari sang mama. Inga telah menjadi yatim sejak berumur dua tahun.

Lika-liku perjalanan rumah tangga yang dijalani Inga mulai menemui batu sandungan saat sifat buruk suaminya mulai terkuak. Status pekerjaan yang diakuinya sebagai arsitek profesional ternyata hanyalah isapan jempol belaka. Dia tak ubahnya benalu yang menggerogoti perekonomian keluarga yang selama ini diambil alih oleh Inga. Kerjanya tak lain hanya mabuk-mabukan. Belum genap dua tahun, dia sudah berselingkuh dengan mantan pacarnya. Padahal Tuhan telah mengkaruniai mereka seorang bayi yang sangat manis dan menggemaskan.

Bukannya Inga tak menyadari sikap buruk suaminya, namun cinta yang begitu besar dan tanggung jawab sebagai seorang ibu sekaligus istri, membuatnya bertahan dan hanya bergantung pada kasih Tuhan semata. Tapi sepertinya itu tidaklah cukup. Keburukan suaminya semakin menjadi-jadi. Bisnis yang mereka bangun hancur berkeping-keping. Modal perusahaan amblas dibawa kabur sang suami. Mobil yang dibeli Inga dari hasil tabungan pun raib. Sang suami tak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah. Dan secara tiba-tiba menjatuhkan talak pada dirinya. Lebih parahnya lagi, putri semata wayang pun diculik paksa darinya. Hancur sudah harapan Inga tuk memiliki keluarga sakinah, cita-cita yang selama ini hanya hadir dalam mimpi-mimpi indahnya. Tinggalah Inga yang merana dengan segala kemalangannya.

Masapun berlalu dalam kesendirian. Rasa rindu yang kian menggila tuk bertemu putri cantiknya hanya jadi duka berkepanjangan. Inga sama sekali tak dapat menemukan jejaknya selama tujuh tahun terakhir. Tiap kali pencarian yang dilakukan selalu tak membuahkan hasil yang memuaskan. Mantan suaminya terlalu pintar untuk menyembunyikan keberadaan putrinya. Dalam segala kepasrahan, Inga mencoba untuk tetap menjalani hidup. Berserah pada Tuhan adalah satu-satunya cara bertahan hidup dan bersabar dalam keterbatasan.

Sedikit demi sedikit Inga mencurahkan cinta tulusnya kepada anak-anak disekitar tempatnya tinggalnya, menyekolahkan dan menyayangi mereka bisa meredam kerinduan yang tak terbendung pada putri yang tak pernah dia kenali parasnya. Diantara waktu senggang, Inga masih menyempatkan diri memasak makanan dan dibagikan kesemua orang.

Tak jarang Inga terisak diam-diam disudut ruangan, dimana terpajang foto-foto putrinya. Tak ada satupun mainan putrinya yang dia buang. Keterpurukan menjadikannya semakin tegar sekaligus rapuh. Inga tak ingin dikasihani. Begitulah perubahan diri Inga yang cukup nyata. Hingga sampai ajal menjelang hanyalah rasa sakit merindu buah hatinya saja yang sempat terungkap. Hal yang paling kami sesalkan, kami belum berhasil mempertemukan ibu dan anak yang telah tujuh tahun terpisah. Mungkin Tuhan masih belum mengijinkan, sekeras apapun kami mencari.

Satu yang pasti Inga….., kau tak pernah sendiri.



Cerita ini diikutkan dalam cerita Agustus ceria http://ceritaeka.com/2010/08/20/kuis-agustus-di-ceritaeka/